Matahari tak terbit hari ini
Pernahkah kau merasakan sesuatu yang biasa hadir mengisi hari-harimu, tiba-tiba lenyap begitu saja. Hari-harimu pasti berubah jadi pucat pasti tanpa gairah. Saat kau hendak mengembalikan sesuatu yang hilang itu dengan sekuat daya, namun tak kunjung tergapai. Kau pasti jadi kecewa seraya menadahkan tangan penuh harap lewat kalimat doa yang tak putus-putusnya.
Bukankah aku jadi kehilangan kehangatan karena tak ada helai-helai sinar ultraviolet yang membuat senyuman begitu indah selama ini. Matahari bagimu tantu tak sekedar benda langit yang memburaikan kemilau cahaya tetapi sudah menjadi sebuah peristiwa yang mentak ada helai-helai sinar ultraviolet yang membuat senyuman begitu indah selama ini. Matahari bagimu tantu tak sekedar benda langit yang memburaikan kemilau cahaya tetapi sudah menjadi sebuah peristiwa yang menyatu dengan ragamu. Bayangkanlah bila matahari tak terbit lagi, tidak hanya kamu tapi jutaan orang kebingungan dan menebar Tanya sambil mengkak hati-hati mencari liang langit tempat matahari menyembulkan secara perkasa dan penuh cahaya.
Kaulah matahari itu, bidadariku. Berhari-hari kau merekat kasih hingga tak terkoyak oleh waktu, tiba-tiba kita harus berpancar dibawah langit menuju langit-langit yang kosong. Kekosongan itu kita bawa lewati jalan kesediahan. Kita harus terpisah jauh menjalani kodrat diri yang semula begitu dekat lantas terpisah jauh oleh lempengan waktu.
Kita mengisi halaman-halaman kosong kehidupan dengan denyut nadi. Sesudahnya, kita bertemu bagai angin mengecup pucuk-pucuk daun dan berlalu begitu mudah. Dan kita pun bertemu lagi dengan perasaan yang asing hingga kita begitu sulit memahami siapa diri kita sebenarnya.
Di ruang kosong yang semula dipenuhi pernik cahaya matahari, kita bertaatap muka penuh gairah. Di penjuru ruang kosong itu bergelantungan bola-bola rindu penuh warna dan aroma. Bola-bola itu bergesekan satu dengan lainnya mengalir irama-irama lembut. Irama itu menyayat-nyayat hati kita hingga mengukir potongan potongan sejarah baru. Bagaikan sepasang merpati putih yang menari-nari bi bawah gemerlap cahaya langit, sejarah itu terus ditulisi berkepanjangan. Lewat ratusan kitab, namun semua perjalanan pasti ada ujungnya, setiap pelayaran pasti ada pelabuhan singgahnya, setiap cuaca benderang niscaya temaram bahkan kegelapan.
Andai sejarah boleh terus diperpanjang membawa mitos dan legendanya. Boleh jadi kamu akan tamoil sebagai permaisuri ataupun tuan putri yang molek.
Aku tiba-tiba jadi kehilangan sesuatu yang begitu akrab di antara kutub-kkutub kosong itu. Kusebut saja kutub rindu. Aku tak mungkin menuangkan tumpukan warna kanvas yang penuh garis dan kata ibarat sebab lukisan agung ini tak kunjung selesai. Masih banyak diperlukan sentuhan kuas dan cairan cat warna-warni hingga lukisan ini mendekati sempurna. Kita telah menggoreskan kain kanvas kosong itu sejak mulai hingga waktu jeda yang tanpa batas.
Masih ingatkah kau bagaimana langit-langit kamar itu penuh getar dan kabar. Tiap pintu dan dinding dipenuhi ikrar kita. Dan bola lampu temaram memburaikan janji-janji. Sebuah percintaan agung sedang dipentaskan di bawah arahan sutradara semesta. Kau membilang percik air yang berjatuhan di danau kecil di sudut pekarangan jiwa dalam kecup dan harum mawar.
Bahkan tubuh kita terguyuri embun yang terbang menembus batas hingga tubuh kita menjadi dingin. Malam-malam penuh mimpi dan keceriaan bagaikan merpati putih yang mengibas-ngibaskan bulu-bulu beningnya. Kau redupkan cahaya lampu di tiap penjuru hingga sejarah dapat dituliskan secara khidmat dan penuh makna. Kau menatap langit-langit kamar sambil mebisikan untaian puisi yang kau tulis dengan desah nafasmu. Semua getar irama percintaan itu tiada batas.
Malam itu siapa pun tak butuh matahari. Sebab ada bulan yang bersaksi. Kita hanya butuh setitik cahaya guna penentu arah belaku. Selebihnya sunyi menyebar dengan tiupan angin yang melompat melalui cela-cela jendela. Dengan apakah kulukiskan pertemuan kita, kekasaih?, Ah, tak cukup kata memberi makna, katamu. Dan isyarat sepasang merpati putih yang saling menggosokkan paruh-paruhnya. Bagaikan peladang kita pun sudah pula bertanam dan menebar benihnya. Kelak, katamu, aka nada buah yang bakal dipetik sebagai kebulatan hati yang begitu mudah terjadi tanpa paksa dan janji.
Dan kita pun terus saja bertanam agar daun-daun yang bertumbuh kelak dapat menangkap matahari. Di setiap helai daun itu bermunculan nama kita sebagai sebuah keabadian. Andai matahari tak terbit lagi saat pagi merona, kita masih menyimpan sedikit cahaya di helai-helai daun yang berguncang diembus angin sepanjang hari. Sungguh, matahari tak terbit pagi ini. Bagai aku kehilangan dirimu yang berlari-lari menangkap cahaya hingga memancarkan kelopak bunga di jiwa. Percintaan ini penuh wangi dan warna. Penuh hijau daun dan kupu-kupu yang menyemai di mahkota bunga.
Begitulah saat kau berada jauh kembali dari garis hidupmu, aku begitu ternganga sebab cahaya itu tidak ada. Memang, tak pernah matahari tak terbit memeluk bumi. Tapi bagi kita, kala, berada jauh, keadaan begitu gelap dan sunyi tiba-tiba. Kita merasa begitu kehilangan dan merasa ada yang teranggut tanpa sengaja. Serasa ada yang tercabut dari akar yang semula menghujan jauh di tanah.
Kita bagaikan orang yang tak punya pilihan saat berada di persimpangan tak bertanda. Syukurlah, kita tak pernah kehilangan arah tempat tertuju di tempat berikutnya. Hidup ini penuh misteri yang memagari ruang dan langkah kita menuju titik terjauh yang harus dilompati. Kata-kata yang berdasarkan di bait puisi dan lirik lagu menebar wangi hari-hari mengalir perlahan dari tembok-tembok kegelapan yang mengepungku. Benar kata sang pencinta “ kita akan tahu akan makna sesuatu ketika ia telah berlalu , apalagi berada jauh yang tak tersentuh “.
Matahari tak terbit hari ini. Begitulah kita saat diri kita berada di kutub yang berjauhan. Diperlukan garis waktu untuk mempertemukan kedua tebing kutub itu atau kita harus kuat menerangilaut salju yang kental atau menyelam di bawah bongkahan es yang begitu dingin menyengat tubuh. Begitu diperlukan segala daya untuk menemukan sesuatu yang lenyap begitu cepat saat diri memerlukan setitik cahaya.
Apa perasaanmu kini ? kau telah telan kesendirian itu di kejauhan sambil berharap matahari akan bercahaya segera menerangi ruang hati yang tersapu oleh luka rindu. Andai kita bisa menolak gumpalan awan dan menyuarakan matahari kembali, begitulah takdir yang hendak kita bentangkan di kitab sejarah sepanjang masa. Tapi, kita akan cepat lelah menyerukan awan untuk menyembulkan panasnya matahari bukanlah hal yang mudah. Kita butuh sejuta tangan dan cakar untuk menaklukan segenap awan dan matahari itu.
Ingatlah kau, kisah romeo dan Juliet yang memburaikan banyak kenangan bagi jutaan orang. Kau pun ada dalam bagian kisah yang tak pernah lekang di panas dan lapuk di hujan itu. Selalu ada manic-manik sayang mengalir di samudera kehiupan yang maha luas ini. Meski kadang kala suaramu tersekat melempar Tanya kala anugerah kasih ini terbit di ujung usia. Tak bolehkah kita mereguk kebahagiaan di sisa waktu yang masih tersedia meski semua jalan yang terbuka di depan bagai tak berujung tua.
Aku takut bila aku berubah, tapi tak akan pernah, pangeranku itulah ucapan kata darimu secara perlahan. Garis panjang waktu itu melelahkan kemungkinan-kemungkinan yang sulit diraba. Banyak ancaman yang siap mengepung kita hingga merobek takbir setia. Ya, kesetiaan tak kasat mata. Hanya ada di bilik hati ingin aku menjenguk bilik hatimu setiap saat, tapi tak bisa. Pintun hati itu tak setiap waktu bisa terbuka dengan mudah.
Andai kau bangun esok pagi, akankah selalu matahari akan terbit seperti janji yang diucapkannya pada alam semesta. Di helai-helai cahaya matahari yang datang itu selalu ada kehangatan yang meresap di jiwamu pada setiap keping-kepingnya.
0 komentar:
Posting Komentar