Konflik Kepentingan Harus Dihindari oleh Pejabat Negara

Kamis, 06 Januari 2011

Konflik Kepentingan Harus Dihindari oleh Pejabat Negara
Kisruh suspensi 'paksa' saham Bumi Resources ditengarai melibatkan campur tangan pejabat negara, dalam hal ini Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (Meneg BUMN), Sofyan Djalil. Pasalnya, ternyata Sofyan Djalil menjadi salah satu pemegang saham Bumi Resources senilai kurang lebih Rp 2 Miliar. Adanya kepemilikan saham ini tentu saja menciptakan potensi adanya konflik kepentingan karena keputusan atau tindakan yang diambil sebagai Meneg BUMN sulit dipisahkan dari kepentingan pribadinya untuk menyelamatkan saham Bumi dari penurunan nilai.
Meskipun sudah dibantah oleh Meneg BUMN di berbagai media massa dengan mengatakan bahwa tidak ada hubungannya antara dirinya sebagai Meneg BUMN dengan dirinya sebagai pemegang saham di Bumi Resource yang mayoritas kepemilikannya dikendalikan oleh Aburizal Bakrie, Menteri Kesejahteraan Rakyat, akan tetapi sulit untuk mengambil keputusan yang objektif atas Bumi Resources, apalagi jika kabar yang berkembang, intervensi itu dilakukan dengan melanggar aturan main.
Dalam UU No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal, pasal 100 angka 4
menyebutkan: "Setiap pegawai Bapepam yang diberi tugas atau Pihak lain yang ditunjuk oleh Bapepam untuk melakukan pemeriksaan dilarang memanfaatkan untuk diri sendiri atau mengungkapkan informasi yang diperoleh berdasarkan Undang-undang ini kepada Pihak mana pun, selain dalam rangka upaya mencapai tujuan Bapepam atau jika diharuskan oleh Undang-undang lainnya."
Sehingga, jika kita menggunakan aturan main diatas, logika hukum yang terkait dengan pihak lain yang ditunjuk saja sudah tidak boleh atau dilarang untuk memanfaatkan untuk dirinya sendiri, apalagi bagi pihak yang posisinya adalah pejabat negara, dan posisi itu terkait langsung dengan wewenangnya untuk mengelola saham milik rakyat di BUMN.
            Analogi posisi Meneg BUMN adalah seperti manajer Investasi dari saham rakyat yag diproksikan kepada Pemerintah. UU Pasar Modal pasal 35 huruf a mengaturnya: "Perusahaan Efek atau Penasihat Investasi dilarang menggunakan pengaruh atau mengadakan tekanan yang bertentangan dengan kepentingan nasabah". Dengan demikian, apa yang menjadi kepentingan nasabah dari BUMN, maka itu adalah kepentingan rakyat yang berharap mendapatkan deviden yang tinggi dari saham di BUMN sehingga dana stimulus fiskal dari APBN dapat mengalir bagi kepentingan rakyat juga.
Pertanyaan prinsipilnya, apakah Meneg BUMN pernah menjelaskan bahwa "kalau BUMN masuk ke BUMI, apakah setoran deviden ke APBN berkurang?" Yang harus diingat juga bahwa dunia saat ini sedang dilanda kesulitan cash flow dan negara Indonesia bukan negara yang kaya. Disamping itu, BUMI faktanya masih memiliki tunggakan Royalti ke Negara (sekitar US$ 201,6 juta). Royalti dan Deviden adalah uang rakyat sehingga seharusnya masuk ke dalam APBN.
            Rencana Menteri BUMN untuk meminta sejumlah BUMN di sektor energi yang kelebihan likuiditas untuk melakukan buy back saham Bumi Resources justru dapat dimaknai bahwa negara akan memberikan perlindungan kepada Grup Bakrie. Padahal saat ini transparansi BUMI diragukan karena Grup Bakrie telah  melakukan repurchase agreement (repo) kepada investor lain, baik internasional maupun domestik.
Pada sisi lain pemegang saham minoritas juga berpotensi dirugikan dan kehilangan hak-haknya. Suspensi terhadap perdagangan saham BUMI yang dilakukan oleh pemerintah yang tidak sesuai aturan dan sekedar memberikan perlindungan Grup Bakrie, menjadikan pemegang saham minoritas tidak bisa melepas saham dengan segera. Terlebih lagi dalam hal pembelian oleh Northstar Pacific yang seharusnya mengubah kepemilikan mayoritas saham BUMI seharusnya dilakukan secara transparan agar pemegang saham minoritas tidak dirugikan.

Larangan adanya konflik kepentingan bagi pejabat publik/negara yang berdampak pada keuangan/perekonomian negara sesungguhnya merupakan suatu ketentuan yang diakui secara universal. Ketentuan konflik kepentingan diatur dalam Konvensi PBB Menentang Korupsi (UNCAC) – khususnya Pasal 7 ayat 4 dan Pasal 8 ayat 5. Konvensi ini telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No 7 Tahun 2006.

Pasal 7 ayat 4 UNCAC menyebutkan bahwa "Setiap Negara Peserta Wajib sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dari hukum nasionalnya berusaha keras untuk mengadopsi, memelihara dan memperkuat sistem-sistem yang meningkatkan transparansi dan mencegah konflik-konflik kepentingan". Pasal 8 ayat 5 UNCAC berbunyi " Setiap Negara Peserta wajib berusaha keras untuk dimana cocok dan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dari hukum nasionalnya, menetapkan tindakan-tindakan dan sistem yang mewajibkan pejabat-pejabat publik untuk membuat pernyataan-pernyataan kepada otoritas-otoritas yang tepat mengenai antara lain kegiatan-kegiatan mereka diluar pekerjaan, investasi-investasi, aset-aset dan hadiah-hadiah atau keuntungan-keuntungan yang berarti, yang dapat menimbulkan konflik kepentingan"       
Ketentuan diatas sejauh ini belum diatur dalam UU Anti Korupsi yang saat ini berlaku. Sebagai suatu konsekuensi diratifikasinya UNCAC, maka Indonesia memiliki kewajiban untuk memasukkan ketentuan tersebut dalam UU Anti Korupsi. Namun demikian meski belum diatur dalam suatu UU, namun tindakan-tindakan pejabat negara yang berpotensi konflik kepentingan sehingga menimbulkan kerugian dan atau perekonomian negara wajib dihindari.
 Berdasarkan uraian diatas diatas, Indonesia Corruption Watch menuntut:
1.  Rencana buy back saham BUMN harus ditolak. Bukan karena pemerintah tidak adil dan diskriminatif karena memberikan perlindungan kepada Grup Bakrie, tetapi juga negara terancam dirugikan dalam jumlah besar. Ketidakjelasan soal repo dan kewajiban Grup Bakrie kepada debitor menjadikan negara dapat dirugikan dalam jumlah besar.
2. Meneg BUMN sebagai "soko guru pencetus Good Corporate Governance" harus menjelaskan posisinya sebagai pemegang saham di BUMI dan wewenangnya sebagai Meneg BUMN yang notabene adalah "Manajer Investasi" saham rakyat di BUMN. Bukankah aroma konflik kepentingan sangat terasa?
3.   Sebagai bagian pelaksanaan tugas pencegahan dan monitoring penyelenggaraan negara, KPK harus mencermati ekses dari adanya konflik kepentingan, yakni kemungkinan timbulnya korupsi politik dimana dengan kekuasaan yang dimilikinya, seorang pejabat negara bisa menjalankan sesuatu yang akan menguntungkan dirinya, atau tidak menjalankan kewajibannya karena mengancam kepentingan pribadinya dengan cara melanggar hukum dan menyebabkan kerugian negara/masyarakat luas.
4.   Presiden SBY harus menegur keras para pembantunya yang turut campur atau menggunakan wewenangnya dalam rangka memproteksi kepentingan pribadinya, dengan melanggar sumpah jabatan, aturan main dan kode etik sebagai pejabat negara.
5.  Pemerintah perlu mengadopsi ketentuan dalam UNCAC mengenai konflik kepentingan oleh pejabat negara/publik dalam RUU Anti Korupsi yang saat masih dibahas oleh Tim Pemerintah.
6.   Sebelum adanya UU Anti Korupsi yang baru, Pemerintah perlu membuat
regulasi (misalnya dalam bentuk Keputusan Presiden) mengenai konflik
kepentingan sehingga menghindarkan pejabat negara dari tindakan abuse of
power.

Sumber : http://antikorupsi.org

0 komentar:

Posting Komentar